Kamis, 25 Juli 2013

SUMBER HUKUM ISLAM



BAB II
PEMBAHASAN

A.    AL-KITAB/AL-QUR’AN
1.      Bermacam Nama Al-qur’an
Nama bagi Al-qur’an seperti yang disebutkannya sendiri berrmacam-macam dan masing-masing nama itu mengandung arti dan makna tertentu antara lain :
a)      Al-Kitab, artinya Buku /Tulisan. Arti ini untuk mengingatkan kaum muslimin supaya membukukannya menjadi buku.
b)      Al-Qur’an, artinya Bacaan. Arti ini untuk mengingatkan supaya ia dipelihara/dihafal bacaannya diluar kepala.
c)      Al-Furqon, artinya Pemisah. Arti ini untuk mengingatkan supaya dalam mencari garis pemisah antara kebenaran dan kebhatilan, yang baik dan buruk haruslah dari padanya atau mempunyai rujukan padanya.
d)      Al-Huda, artinya Petunjuk. Arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan kepadanya.
e)      Al-Dzikr, artinya Ingat. Arti ini menunjukan bahwa ia berisikan peringatan dan agar selalu diingat tentunya dalam melakukan setiap tindakan.
Dia adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi SAW dalam bahasa Arab, riwayatnya Mutawatir. Oleh karena itu, terjemahan Al-Qur’an tidak disebut Al-Qur’an dan orang yang mengingkarinya baik secara keseluruhan maupun bagian rincinya, dipandang kafir.
Dia merupakan sendi fundamental dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at, merupakan Undang-Undang Dasar, sumber dari segala sumber, dan dasar dari semua dasar. Hal ini sudah merupakan kesepakatan Seluruh Ulama Islam.
2.      Ciri Khas dan Keistimewaannya
Dari definisi Al-Qur’an tersebut diatas, jelaslah bahwa Al-Qur’an mempunyai ciri-ciri khas dan keistimewaannya sebagai berikut :
a)             Lafadz dan maknanya datang dari Allah dan disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril dengan jalan wahyu.
Nabi tidak boleh mengubah baik kalimat ataupun pengertiannya selain dari menyampaikan seperti apa yang diterimanya. Oleh karena itu, tidak boleh meriwayatkan Al-Qur’an dengan makna dan dengan demikian maka Al-Qur’an berbeda dengan Hadist, baik Hadist Qudsy maupun Hadist Nabawy, karena keduanya adalah merupakan ungkapan kalimat dari Nabi dan merupakan perkataan Nabi yang diungkapkannya dari makna yang diilhamkan Allah atau yang diwahyukan Allah kepadanya. Jadi dari segi ini tak berbeda antara Hadist Qudsy dan Nabawy. Perbedaannya terletak pada : Bahwa Hadist Qudsy disampaikan Rasul dengan menjelaskannya bahwa itu dari Allah.
b)            Bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan lafadz dan gaya bahasa Arab, memang didalam Al-Qur’an terdapat sebagian lafadznya nadir/ganjil yang menurut pandangan sebagian Ulama bukan bahasa Arab asli.
Memang pernah diriwayatkan bahwa Abu Hanifah semula membolehkan shalat dengan terjemahan bahasa Parsi terhadap sebagian Al-Qur’an bagi orang yang tidak mampu mengucapkan bahasa Arab. Para Imam selain Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang tidak bisa mengucapkan bahasa arab dalam bacaan shalatnya cukup diam saja seraya menekuni makna ibadah, taat dan munajat.
Imam Syafi’i dan lainnya mewajibkan kaum muslimin untuk mengetahui baca tulis bahasa Arab bagi keperluan membaca Al-Qur’an serta menghafal bagian yang perlu dibaca dalam shalat.
Sesungguhnyalah  menerjemahkan Al-Qur’an menurut maknanya yang bersifat sastera itu, adalah mustahil. Menterjemahkan secara tafsir/interpretasi sebagai terjemahan menurut perkataan dan pandangan ahli tafsir.
c)             Bahwa Al-Qur’an disampaikan/diterima melalui jalan tawaturyang menimbulkan keyakinan dan kepastian tentang kebenarannya. Dia dihafal dalam hati, dibukukan dalam mushaf dan disebarluaskan keseluruh negeri Islam bertubi-tubi, tanpa berbeda dan diragukan didalamnya, baik ayat ataupun susunannya.
Golongan hanafiyah memegangnya sebagai dalil dalam istinbath hukum. Dia memandangnya sebagai sunnah Rasul karena sahabat yang menukil ayat itu mendapatkannya dari Rasul, sedangkan sunnah wajib dipegang.
Imam Syafi’i pun menurut penjelasan Ansawy dalam kitabnya Nihayatussul, berpegang pula dengan qira’at yang tidak mutawatir, sehingga beliau menetapkan wajibnya potong tangan kanan terhadap pencuri karena berpegangan dengan qira’at Abdullah bin Mas’ud.
3. Petunjuk Al-Qur’an Kepada Maksudnya
Seperti telah dikemukakan  bahwa semua ayat Al-Qur’an itu diterima secara yakin.
     Tetapi petunjuk ayat-ayatnya terhadap arti yang dikehendaki, kadang-kadang qath’y, tetapi kadang-kadang zhonny.Oleh karena itu ada 4 prinsip dasar yang umum dalam memahami makna Al-Qur’an, yaitu :
a.       Al-Qur’an merupakan keseluruhan syari’at dan sendinya yang fundamental. Jika ingin mencapai hakikat agama dan dasar-dasar syari’at, harus menempatkan Al-Qur’an sebagai pusat/sumbu tempat berputarnya semua dalil yang lain dan Sunnah sebagai pembantu dalam memahaminya.
b.      Sebagian besar ayat-ayat hukum turun karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya. Oleh sebab itu, setiap orang yang ingin mengetahui isi Al-Qur’an secara tepat perlu mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.
Ada dua alasan mengapa harus mngetahuinya :
1)      Faktor untuk mengetahui kei’jazan Al-Qur’an itu bertumpu pada pengetahuan tentang tuntutan situasi. Karena pembicaraan yang satu berbeda pemahamannya dalam dua situasi berbeda bagi dua orang yang menjadi sasaran  pembicaraan berbeda dan lain-lain.
2)      Kejahilan akan sebab-sebab nuzul dapat menjerumuskan ke jurang keraguan dan menempatkan nash yang zhohir ketempat yang ijmal, sehingga terjadilah perbedaan pendapat. Abdullah bertanya kepada Umar :”Apabila Qur’an sudah diturunkan kepada kita, lalu kita baca dan ketahui sasarannya tetapi generasi dibelakang kita membaca Al-Qur’an tanpa mengetahui apa sasaran ayat tersebut. Perbedaaan pendapat berlanjut menjadi pertikaian yang berpuncak pada peperangan”.
c.       Setiap berita kejadian masa lalu yang diungkapkan Al-Qur’an, jika terjadi penolakannya baik sebelum atau sesudahnya, maka penolakan tersebut menunjukan secara pasti bahwa isi berita itu sudah dibatalkan.
      Jika berita kejadian masa lalu itu tidak dinyatakan oleh Qur’an penolakannya baik mendahuluinya atau mengiringinya, maka berarti Al-Qur’an menunjukan akan kebenarannya dan keabsahan hukumnya, karena Al-Qur’an dinamakan Furqon, Hudan, Burhan, dan Tibyan bagi segala sesuatu, dan dia merupakan hujjatullah kepada makhluk-Nya baik secara global, rinci, mutlak, maupun umum. Ini mengandung pengertian bahwa Al-Qur’an tidak mau memberitahukan peristiwa umat yang lalu tidak benar yang tidak disertai peringatan akan tidak benarnya.
d.      Kebanyakan hukum-hukum yang diberitahukan oleh Al-Qur’an bersifat kully tidak rinci seperti terungkap dari penelitian. Apabila kita teliti secara mendalam terhadap rujukan syari’at kepada maknanya yang bersifat menyeluruh itu, maka kita akan temui bahwa ia mencakup segala sesuatunya secara sempurna, yaitu : hal-hal yang bersifat dharuriyah, hal-hal yang hajjiyat dan hal-hal bersifat tahsiniyat serta pelengkap/penyempurna bagi ketiga hal tersebut.
Dalil-dalil diluar Al-Qur’an adalah sunnah, ijma’ dan Qiyas yang kesemuanya sebenarnya terbit juga dari Al-Qur’an. Maka tidaklah memadai untuk melakukan hukum dari Al-Qur’an tanpa meneliti penjelasannya yaitu As Sunnah, kemudian pengurainya yaitu tafsir Ulama Salafush shalehdalam hal sunnah tidak menjelaskannya, karena mereka lebih tahu dari orang lain.
B. Sunnah Nabi/Hadist
Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal. Ruang lingkup sunnah meliputi :
  1. Semua ucapan Rasulullah (Qauliyah) contohnya penentuan harta benda yang wajib zakat, penentuan jumlah wasiat.
  2. Semua perbuatan Rasulullah (Fi’liyah) contohnya cara mengambil air wudhu, cara mengerjakan shalat dan cara melakukan ibadah haji.
  3. Semua persetujuan Rasulullah (Taqriri) contohya bila Rasulullah mendengar sahabatnya mengatakan sesuatu perkataan atau melihat mereka memperbuat sesuatu perbuatan, beliau tidak menegur atau melarangnya.



Adapun fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah :
  1. Menegaskan hukum-hukum mengenai shalat (Al-Baqarah : 110)
  2. Memberikan perincian tentang hukum yang di dalam Al-Qur’an hanya dibahas secara global.
  3. Menetapkan suatu hukum yang belum diatur di dalam Al-Qur’an secara jelas.

Dalam Sunnah terdapat unsur-unsur sanad, matan, rowi. Dilihat dari segi jumlah perawinya dapat dibagi menjadi 3 kelompok :
  1. Sunnah Mutawatir: sunnah yang diriwayatkan oleh satu jamaah dari satu jamaah dan seterusnya.
  2. Sunnah Masyur: sunnah yang diriwayatkan dua orang atau lebih yang tidak mencapai tingkatan mutawatir.
  3. Sunnah Ahad: sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.

Ditinjau dari sudut perawinya, hadist dapat digolongkan menjadi:
  1. Hadist mutawatir
  2. Hadist masyur
  3. Hadist ahad
  4. Hadist mursal
Ditinjau dari sudut sifat siperawinya, hadits dapat dibagi menjadi:
1.      Hadits Shahih (benar), di manaperawi-perawinya terkenal orang baik dan boleh dipercaya.
2.      Hadits Hasan (baik), dimana perawi-perawinya tidak mencapai derajat perawi hadits shahih tetapi tidak diketahui ada cacatnya.
3.      Hadits Dha’if (lemah) di manaperawi-perawinya disanksikan kebolehannya.

Sunnah berkedudukan sebagai dalil hukum Islam. Hal ini didasarkan kepada Nash Al-Qur’an :
1.      Surat An-Nisaayat 79: “apa saja nikmat yang kau peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan dirimu sendiri. Kami mengutus menjadi Rasul kepada setiap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.
2.      Surat An-Najmayat 3 & 4 : “dan tiadalah apa yang diucapkan nyaitu Al-Qur’an menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.

Di dalam memahami hadist terdapat dua hal yang harus diperhatikan:
1.      Hadist Shahih
2.      Hadist Dha’if

Ciri-ciri hadist Shahih antara lain:
a.       Ciri Pertama: “hadist yang shahih itu ialah yang kata-katanya bebas dari bahasa yang rendah (tidak pantas) serta maksudnya tidak bertentangan dengan ayat atau kabar hadist yang mutawatir atau ijma (yang gamblang), dan yang meriwayatkannya orang-orang yang pantas dipercaya.” (AthThariqatul-Muhammadiyyah).
b.      Ciri Kedua: “hadist yang shahih  itu ialah yang kata-katanya bebas yang kasar (tidak pantas) serta maksudnya tidak bertentangan dengan ayat atau hadist yang mutawatir, dan berkesinambungan (tidak ada sanadnya jatuh) secara berantai sambung-menyambung berita itu dibawakan oleh orang-orang yang pantas dipercaya.” (Ay-Ta’rifat).

Ciri-ciri hadist Dha’if menurut K.H.E Aburrohman:
a.       Ciri Pertama: “di antara ciri-ciri hadist dha’if  ialah bertentangan dengan Nash Al-Qur’an dan sunnah yang mutawatir, atau bertentangan dengan putusan akal yang gamblang” (Al-Baituniyyah).
b.      Ciri Kedua: “bertentangan maksud dari riwayat itu dengan keterangan-keterangan Al-Qur’an yang pasti serta jelas, atau bertentangan dengan keterangan hadits yang mutawatir” (Al-Fiyyatusy-Sayuthi).
c.       Ciri Ketiga: “hadist itu jelasnya bertentangan dengan dalil Al-Qur’an yang pasti serta gamblang, atau bertentangan dengan keterangan hadist mutawatir” (Manhaju Dwain-Nazhri).



Di dalam ilmu hadist dikenal adanya ulama hadist yang masyhur yaitu:
1.      Al-Bukhari
2.      Muslim
3.      Abu Daud
4.      An-Nasa’i
5.      At-Turmudzi
6.      IbnuMajah
7.      Ahmad

Menurut K.H.E Abdurrohman, sanad ada 3 macam yang perlu mendapat perhatian:
·         Pertama: mengenai banyak dan sedikitnya yang meriwayatkan suatu hadist sebab terkadang ada matan hadist yang memiliki beberapa huruf dan ada juga matan yang hanya memiliki satu jalan atau sanad.
·         Kedua: mengenai bersambungnya sanad, jika ada tabi’in yang mendatakan bahwa ia mendengar suatu matan hadist dari Rasulullah, tentu ia berdusta karena tidak bersambung langsung, tidak menglami zaman Rasulullah, bahkan bertemupun tidak pernah.
·         Ketiga: mengenai rawi yang menjadi sanad dan yang berkenaan dengan rijal hadist, yaitu mengenai kepribadian sanad: “mengenai akhlaknya dan yang bersangkutan dengan kekuatan otak dan daya ingat atau hafalannya.

C. AL IJMA’
     Ijma’ menurut bahasa yaitu mengandung dua pengertian, yaitu :
a)      Ittifaq (kesepakatan), seperti dikatakan : “Suatu kaum ialah berijma’ tentang sesuatu”, maksudnya apabila mereka menyepakatinya.
b)      ‘azam (cita-cita/hasrat) dan tasmin.
Ijma’ menurut syara’ (dalam pandangan Jumhur) adalah kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin disesuaikan masa setelah wafat Nabi SAW tentang suatu kaum syara’ yang amali. Oleh karena itu, menurut Jumhur Ulama ijma’ hanya terwujud apabila dipenuhi persyaratan/unsur-unsurnya sebagai berikut :
a.    Bersepakatnya para mujtahid. Kesepakatan bukan mujtahid (orang awam) tidak diakui sebagai ijma’. Demikian juga, kesepakatan ulama yang belum mencapai martabat ijtihad fiqhy, sekalipun mereka tergolong Ulama besar dalam disiplin ilmu lain, karena mereka ini tidak mampu mengadakan mazhar dan istidlal tentang urusan penetapan hukum syara’. Imam Fakhrurazy mengatakan bahwa seorang pembicara yang tidak mengetahui cara istinbath hukum dari nash, tidak diakui perintah dan larangannya.
b.   Bahwa semua mujtahid tersebut bersepakat, tak seorang pun yang berpendapat lain. Kalau satu orang saja yang berpendapat lain, maka ijma’ tidak tersimpul.
Karena itu tak diakui sebagai ijma’, kesepakatan :
§  Suara terbanyak
§  Kesepakatan mujtahid dua tanah haram dari golongan Salaf
§  Kesepakatan Ulama Salaf kota Madinah
§  Kesepakatan Ulama Salaf yang mujtahid dari dua kota Bashrah dan kufah, atau salah satunya
§  Kesepakatan Ahli Bait Nabi
§  Kesepakatan Khulafaurrasyidin
§  Kesepakatan dua orang syekh : Abu Bakar dan Umar karena adanya pendapat lain dari mujtahid lain, membuat kesepakatan mereka itu tidak qath’y (diyakini) keabsahan dan kebenarannya.
Termasuk dalam kategori mujtahid, adalah mereka yang ahli dalam “kelompok-kelompok dalam kalangan umat islam” yang tidak mengingkari masalah yang termasuk kategori sudah ketahui secara dharury dalam agama.
c.    Bahwa kesepakatan itu, diantara mujtahid yang ada ketika masalah yang diperbincangkan itu dikemukakan dan dibahas, tidak mesti disepakati pula oleh mujtahid generasi berkutnya, karena jika demikian maka ijma’ takkan terjadi sampai kiamat.
d.   Bahwa kesepakatan mujtahid itu, terjadi setelah Nabi SAW wafat. Jika dikala Nabi SAW masih hidup para sahabat bersepakat tentang suatu masalah hukum, maka tidak merupakan ijma’ syar’i, melainkan merupakan pengakuan Rasul (sunnah taqriryah).
e.    Bahwa kesepakatan itu harus masing-masing mujtahid memulai penyampaian pendapatnya dengan jelas pada satu waktu, baik pernyataan pendapat itu secara perorang tanpa berkumpul bersama.
f.    Bahwa kesepakatan mujtahid itu dalam pendapat yang bulat yang sempurna dalam pleno lengkap, ataupun masing-masing berkelompok dengan pendapatnya sendiri, maka mereka pun berijma’ dalam satu pendapat secara hukum karena tak ada pendapat ketiga.
Apabila unsur ijma’ itu sudah terwujud didalam suatu kesepakatan mujtahid mengenai sesuatu hukum syara’ amaliyah, seperti kewajiban, keharaman, sah dan batal, maka ijma’ sudah tersimpul.
Akan tetapi sebagian Ulama berpendapat lain tentang sebagian unsur ijma’ yang dikemukakan Jumhur tadi, yaitu :
Pertama : Ijma’ Aktsariyah (sepakat suara terbanyak)
1)      Jumhur Ulama mengatakan bahwa ijma’ Aktsariyah ini tidak tersimpul, dengan alasan bahwa dalil-dalil yang menunjukan ”terpeliharanya umat”itu ialah seluruhnya sepakat.
2)      Abdullah bin Jariral Thabary, Abu Bakar Al Razy, Abdul Husein Al Khayyath (Mu’tazilah) dan imam Ahmad dalam satu riwayat berpendapat bahwa ijma’ itu sudah tersimpul apabila terjadi persetujuan suara terbanyak mutlak, sedang Ulama lain mempertegas bahwa yang berpendapat lain itu tidak mencapai batas tawatur .
Kedua : Ijma’ Ahli Madinah
a.       Pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa ijma’ mujtahid Madinah saja sudah merupakan kesimpulan ijma’, bahwa pendapat mujtahidnya adalah benar, tidak mungkin salah kareena kesalahan merupakan kotoran yang tidak terdapat didalam Madinah.
b.      Jumhur Ulama berpendapat bahwa ijma’ tidak tersimpul dengan kesepakatan mujtahid Madinah, karena mereka tidak ma’shum dari kesalahan seperti halnya para mujtahid lain.


Ketiga : Ijma’ Aahli Bait
1.      Ulama Syiah berpendapat bahwa ijma’ tersimpul dengan kesepakatan Ahli Bait Nabi. Menunjukan terkikisnya kotoran dari ahli bait sedangkan keliru dalam pendapat merupakan kotoran juga yang tidak teradi dari mereka.
2.      Jumhur Ulama berpendapat tidak terwujudnya ijma’ dengan kesepakatan mereka, karena mereka tidak mashum dari kesalahan. Menurut gaya bahasanya tertuju kepada isteri Nabi SAW dan membersihkan mereka dari terjerumus ke jurang kotoran karena nash.

Keempat : Ijma’ Sakuty
1.      Ijma’ yang dinyatakan oleh setiap mujtahid secara shorih disebut ijma’ shorih, karena masing-masing mujtahid menegaskan dan menyatakan pendapatnya.
2.      Imam Ahmad bin Hanbal, kebanyakan pengikut Hanafiyah dan sebagian pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak mesti kesepakatan para mujtahid itu ditegaskan.
3.      Sebagian Ulama memperluas pendapatnya bahwa ijma’ sukuty tidak disebut ijma’ karena tak terwujud kesepakatan didalamnya, tapi tetap dianggap hujjah dan dalil syara’ karena rajih-nya keadaan diam sebagai kesepakatan.

elima : Ijma’ Murrakkab
a.       Kebanyakan Ulama berpendapat bahwa ahli ijtihad pada suatu masa apabila terkelompok dalam dua firqoh/kelompok dalam menanggapi masalah fiqhiyah dimana masing-masing pendapat kelompok saling berbeda.
b.      Sebagian Ulama berpendapat bahwa ijma’ murrakkab itu tidak tersimpul karena tidak adanya kesepakatan mujtahid dalam satu pendapat, terpisahnya mujtahid kedalam dua kelompok yang pendapat sendirinya berbeda.
c.       Sebagian Ulama memilih jalan alternatif : Apabila pendapat ketiga itu menolak pendapat yang sudah disepakati mujtahid dahulu, maka pendapat baru itu menyalahi ijma’ dan terlarang, seperti dalam masalah kewarisan kakek dan para saudara.

Keenam : Kemungkinan Ijma’
a)      Sebagian Ulama Mu’tazilah pengikut Al Nazham dan Syi’ah berpendapat bahwa ijma’ dalam bentuk yang dirumuskan Jumhur itu, tidak mungkin tersimpulnya menurut adat.
b)      Jumhur Ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin adanya dan tersimpulnya, dengan dasar argumentasi bahwa ia telah terjadi dalam praktik.
Ketujuh : Kehujjahan Ijma’
a.       Jumhur Ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah yang wajib diamalkan. Zamakhsary mengomentari bahwa dalam QS. An Nissa’ ayat 115 ini menunjukkan bahwa ijma’ merupakan hujjah yang tak boleh diperselisihkan sebagaimana tak boleh diperselisihkan Al-Qur’an dan Sunnah.
b.      Al Nazham, sebagian Mu’tazilah dan Syi’ah berpendapat bahwa ijma’ bukan hujjah, dengan alasan : setiap individu mujtahid itu mungkin saja bersalah, maka hal yang sama bisa juga terjadi di dalam jamaah mereka.
Kedelapan : Sandaran Ijma’ Kepada Qiyas dan Mashlahat 
            Para Ulama berselisih paham tentang kebolehan istinad (sandaran) ijma’ kepada qiyas atau mashlahat. Pendapat yang benar ialah bahwa ijma’ seluruh mujtahid tidak mungkin dibina atas landasan qiyas, karena berhujjah dengan qiyas itu sendiri di perselisihkan Ulama, kecuali apabila pendapat kelompok penolak qiyas itu tidak diperhitungkan.








BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
            Ketika kita berbicara tentang Al-Qur’an dan Hadits (Sunnah), tentunya kita sudah mengetahui bahwa Al-Qur’an merupakan sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syariat islam. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an yaitu “sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat (QS An-Nisa). Sedangkan hadits adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal yang di dalamnya mencakup tiga hal yaitu ucapan, perbuatan, dan peersetujuan Rasulullah SAW.
            Jadi, ketika kita membahas tentang Al-Qur’an sama halnya membahas Fiqih karena di dalam Al-Qur’an hanya menjelaskan secara globalnya saja. Sedangkan Hadits (Sunnah) sama halnya dengan Ushul Fiqih, karena di dalam hadits (sunnah) ruang lingkupnya lebih luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar