BAB II
PEMBAHASAN
A. AL-KITAB/AL-QUR’AN
1. Bermacam
Nama Al-qur’an
Nama
bagi Al-qur’an seperti yang disebutkannya sendiri berrmacam-macam dan
masing-masing nama itu mengandung arti dan makna tertentu antara lain :
a) Al-Kitab,
artinya Buku /Tulisan. Arti ini untuk mengingatkan kaum muslimin supaya
membukukannya menjadi buku.
b) Al-Qur’an,
artinya Bacaan. Arti ini untuk mengingatkan supaya ia dipelihara/dihafal
bacaannya diluar kepala.
c) Al-Furqon,
artinya Pemisah. Arti ini untuk mengingatkan supaya dalam mencari garis pemisah
antara kebenaran dan kebhatilan, yang baik dan buruk haruslah dari padanya atau
mempunyai rujukan padanya.
d) Al-Huda, artinya Petunjuk. Arti ini
mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang
diberikannya atau yang mempunyai rujukan kepadanya.
e) Al-Dzikr,
artinya Ingat. Arti ini menunjukan bahwa ia berisikan peringatan dan agar
selalu diingat tentunya dalam melakukan setiap tindakan.
Dia adalah
Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi SAW dalam bahasa Arab, riwayatnya
Mutawatir. Oleh karena itu, terjemahan Al-Qur’an tidak disebut Al-Qur’an dan
orang yang mengingkarinya baik secara keseluruhan maupun bagian rincinya,
dipandang kafir.
Dia merupakan
sendi fundamental dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at,
merupakan Undang-Undang Dasar, sumber dari segala sumber, dan dasar dari semua
dasar. Hal ini sudah merupakan kesepakatan Seluruh Ulama Islam.
2. Ciri
Khas dan Keistimewaannya
Dari definisi Al-Qur’an
tersebut diatas, jelaslah bahwa Al-Qur’an mempunyai ciri-ciri khas dan
keistimewaannya sebagai berikut :
a)
Lafadz dan maknanya
datang dari Allah dan disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat
Jibril dengan jalan wahyu.
Nabi tidak boleh mengubah baik
kalimat ataupun pengertiannya selain dari menyampaikan seperti apa yang
diterimanya. Oleh karena itu, tidak boleh meriwayatkan Al-Qur’an dengan makna
dan dengan demikian maka Al-Qur’an berbeda dengan Hadist, baik Hadist Qudsy
maupun Hadist Nabawy, karena keduanya adalah merupakan ungkapan kalimat dari
Nabi dan merupakan perkataan Nabi yang diungkapkannya dari makna yang
diilhamkan Allah atau yang diwahyukan Allah kepadanya. Jadi dari segi ini tak
berbeda antara Hadist Qudsy dan Nabawy. Perbedaannya terletak pada : Bahwa
Hadist Qudsy disampaikan Rasul dengan menjelaskannya bahwa itu dari Allah.
b)
Bahwa Al-Qur’an
diturunkan dengan lafadz dan gaya bahasa Arab, memang didalam Al-Qur’an
terdapat sebagian lafadznya nadir/ganjil yang menurut pandangan sebagian Ulama
bukan bahasa Arab asli.
Memang
pernah diriwayatkan bahwa Abu Hanifah semula membolehkan shalat dengan
terjemahan bahasa Parsi terhadap sebagian Al-Qur’an bagi orang yang tidak mampu
mengucapkan bahasa Arab. Para Imam selain Abu Hanifah berpendapat bahwa orang
yang tidak bisa mengucapkan bahasa arab dalam bacaan shalatnya cukup diam saja
seraya menekuni makna ibadah, taat dan munajat.
Imam
Syafi’i dan lainnya mewajibkan kaum muslimin untuk mengetahui baca tulis bahasa
Arab bagi keperluan membaca Al-Qur’an serta menghafal bagian yang perlu dibaca
dalam shalat.
Sesungguhnyalah menerjemahkan Al-Qur’an menurut maknanya yang
bersifat sastera itu, adalah mustahil. Menterjemahkan secara
tafsir/interpretasi sebagai terjemahan menurut perkataan dan pandangan ahli
tafsir.
c)
Bahwa Al-Qur’an disampaikan/diterima melalui
jalan tawaturyang menimbulkan keyakinan dan kepastian tentang
kebenarannya. Dia dihafal dalam hati, dibukukan dalam mushaf dan disebarluaskan
keseluruh negeri Islam bertubi-tubi, tanpa berbeda dan diragukan didalamnya,
baik ayat ataupun susunannya.
Golongan
hanafiyah memegangnya sebagai dalil dalam istinbath hukum. Dia memandangnya
sebagai sunnah Rasul karena sahabat yang menukil ayat itu mendapatkannya dari
Rasul, sedangkan sunnah wajib dipegang.
Imam
Syafi’i pun menurut penjelasan Ansawy dalam kitabnya Nihayatussul,
berpegang pula dengan qira’at yang tidak mutawatir, sehingga beliau menetapkan
wajibnya potong tangan kanan terhadap pencuri karena berpegangan dengan qira’at
Abdullah bin Mas’ud.
3. Petunjuk Al-Qur’an Kepada
Maksudnya
Seperti telah dikemukakan bahwa semua ayat Al-Qur’an itu diterima
secara yakin.
Tetapi petunjuk ayat-ayatnya terhadap arti
yang dikehendaki, kadang-kadang qath’y, tetapi kadang-kadang zhonny.Oleh
karena itu ada 4 prinsip dasar yang umum dalam memahami makna Al-Qur’an, yaitu
:
a. Al-Qur’an merupakan
keseluruhan syari’at dan sendinya yang fundamental. Jika ingin mencapai hakikat
agama dan dasar-dasar syari’at, harus menempatkan Al-Qur’an sebagai pusat/sumbu
tempat berputarnya semua dalil yang lain dan Sunnah sebagai pembantu dalam
memahaminya.
b. Sebagian
besar ayat-ayat hukum turun karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya.
Oleh sebab itu, setiap orang yang ingin mengetahui isi Al-Qur’an secara tepat
perlu mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.
Ada dua alasan mengapa harus
mngetahuinya :
1) Faktor
untuk mengetahui kei’jazan Al-Qur’an itu bertumpu pada pengetahuan
tentang tuntutan situasi. Karena pembicaraan yang satu berbeda pemahamannya
dalam dua situasi berbeda bagi dua orang yang menjadi sasaran pembicaraan berbeda dan lain-lain.
2) Kejahilan
akan sebab-sebab nuzul dapat menjerumuskan ke jurang keraguan dan menempatkan
nash yang zhohir ketempat yang ijmal, sehingga terjadilah perbedaan pendapat.
Abdullah bertanya kepada Umar :”Apabila Qur’an sudah diturunkan kepada kita,
lalu kita baca dan ketahui sasarannya tetapi generasi dibelakang kita membaca
Al-Qur’an tanpa mengetahui apa sasaran ayat tersebut. Perbedaaan pendapat
berlanjut menjadi pertikaian yang berpuncak pada peperangan”.
c. Setiap
berita kejadian masa lalu yang diungkapkan Al-Qur’an, jika terjadi penolakannya
baik sebelum atau sesudahnya, maka penolakan tersebut menunjukan secara pasti
bahwa isi berita itu sudah dibatalkan.
Jika berita kejadian masa lalu itu tidak dinyatakan oleh Qur’an
penolakannya baik mendahuluinya atau mengiringinya, maka berarti Al-Qur’an
menunjukan akan kebenarannya dan keabsahan hukumnya, karena Al-Qur’an dinamakan
Furqon, Hudan, Burhan, dan Tibyan bagi segala sesuatu, dan dia
merupakan hujjatullah kepada makhluk-Nya baik secara global, rinci, mutlak,
maupun umum. Ini mengandung pengertian bahwa Al-Qur’an tidak mau memberitahukan
peristiwa umat yang lalu tidak benar yang tidak disertai peringatan akan tidak
benarnya.
d. Kebanyakan
hukum-hukum yang diberitahukan oleh Al-Qur’an bersifat kully tidak rinci
seperti terungkap dari penelitian. Apabila kita teliti secara mendalam terhadap
rujukan syari’at kepada maknanya yang bersifat menyeluruh itu, maka kita akan
temui bahwa ia mencakup segala sesuatunya secara sempurna, yaitu : hal-hal yang
bersifat dharuriyah, hal-hal yang hajjiyat dan hal-hal bersifat tahsiniyat
serta pelengkap/penyempurna bagi ketiga hal tersebut.
Dalil-dalil diluar Al-Qur’an adalah
sunnah, ijma’ dan Qiyas yang kesemuanya sebenarnya terbit juga dari Al-Qur’an.
Maka tidaklah memadai untuk melakukan hukum dari Al-Qur’an tanpa meneliti
penjelasannya yaitu As Sunnah, kemudian pengurainya yaitu tafsir Ulama Salafush
shalehdalam hal sunnah tidak menjelaskannya, karena mereka lebih tahu dari
orang lain.
B.
Sunnah Nabi/Hadist
Hadist adalah ucapan
Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau
tentang suatu hal. Ruang lingkup sunnah meliputi :
- Semua ucapan Rasulullah (Qauliyah) contohnya penentuan harta benda yang wajib zakat, penentuan jumlah wasiat.
- Semua perbuatan Rasulullah (Fi’liyah) contohnya cara mengambil air wudhu, cara mengerjakan shalat dan cara melakukan ibadah haji.
- Semua persetujuan Rasulullah (Taqriri) contohya bila Rasulullah mendengar sahabatnya mengatakan sesuatu perkataan atau melihat mereka memperbuat sesuatu perbuatan, beliau tidak menegur atau melarangnya.
Adapun fungsi Sunnah
terhadap Al-Qur’an adalah :
- Menegaskan hukum-hukum mengenai shalat (Al-Baqarah : 110)
- Memberikan perincian tentang hukum yang di dalam Al-Qur’an hanya dibahas secara global.
- Menetapkan suatu hukum yang belum diatur di dalam Al-Qur’an secara jelas.
Dalam Sunnah terdapat
unsur-unsur sanad, matan, rowi. Dilihat dari segi jumlah perawinya dapat dibagi
menjadi 3 kelompok :
- Sunnah Mutawatir: sunnah yang diriwayatkan oleh satu jamaah dari satu jamaah dan seterusnya.
- Sunnah Masyur: sunnah yang diriwayatkan dua orang atau lebih yang tidak mencapai tingkatan mutawatir.
- Sunnah Ahad: sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.
Ditinjau dari sudut
perawinya, hadist
dapat digolongkan menjadi:
- Hadist mutawatir
- Hadist masyur
- Hadist ahad
- Hadist mursal
Ditinjau
dari sudut sifat siperawinya, hadits dapat dibagi menjadi:
1. Hadits Shahih (benar), di manaperawi-perawinya terkenal
orang baik dan boleh dipercaya.
2. Hadits Hasan (baik), dimana perawi-perawinya tidak mencapai
derajat perawi hadits shahih tetapi tidak diketahui ada cacatnya.
3. Hadits Dha’if (lemah) di manaperawi-perawinya disanksikan
kebolehannya.
Sunnah berkedudukan
sebagai dalil hukum Islam. Hal
ini didasarkan kepada Nash Al-Qur’an :
1. Surat An-Nisaayat 79: “apa saja nikmat yang kau peroleh
adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan
dirimu sendiri. Kami mengutus menjadi Rasul kepada setiap manusia. Dan cukuplah
Allah menjadi saksi.
2. Surat An-Najmayat 3 & 4 : “dan tiadalah apa yang
diucapkan nyaitu Al-Qur’an menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Di dalam memahami
hadist terdapat dua hal yang harus diperhatikan:
1. Hadist Shahih
2. Hadist Dha’if
Ciri-ciri hadist
Shahih antara lain:
a. Ciri Pertama: “hadist yang shahih itu ialah yang
kata-katanya bebas dari bahasa yang rendah (tidak pantas) serta maksudnya tidak
bertentangan dengan ayat atau kabar hadist yang mutawatir atau ijma (yang
gamblang), dan yang meriwayatkannya orang-orang yang pantas dipercaya.”
(AthThariqatul-Muhammadiyyah).
b. Ciri Kedua: “hadist yang shahih itu ialah yang kata-katanya bebas yang kasar
(tidak pantas) serta maksudnya tidak bertentangan dengan ayat atau hadist yang
mutawatir, dan berkesinambungan (tidak ada sanadnya jatuh) secara berantai sambung-menyambung
berita itu dibawakan oleh orang-orang yang pantas dipercaya.” (Ay-Ta’rifat).
Ciri-ciri hadist
Dha’if menurut K.H.E Aburrohman:
a. Ciri Pertama: “di antara ciri-ciri hadist dha’if ialah bertentangan dengan Nash Al-Qur’an dan
sunnah yang mutawatir, atau bertentangan dengan putusan akal yang gamblang”
(Al-Baituniyyah).
b. Ciri Kedua: “bertentangan maksud dari riwayat itu dengan
keterangan-keterangan Al-Qur’an yang pasti serta jelas, atau bertentangan
dengan keterangan hadits yang mutawatir” (Al-Fiyyatusy-Sayuthi).
c. Ciri Ketiga: “hadist itu jelasnya bertentangan dengan
dalil Al-Qur’an yang pasti serta gamblang, atau bertentangan dengan keterangan
hadist mutawatir” (Manhaju Dwain-Nazhri).
Di dalam ilmu
hadist dikenal adanya ulama hadist yang masyhur yaitu:
1. Al-Bukhari
2. Muslim
3. Abu Daud
4. An-Nasa’i
5. At-Turmudzi
6. IbnuMajah
7. Ahmad
Menurut K.H.E
Abdurrohman, sanad ada 3 macam yang perlu mendapat perhatian:
·
Pertama:
mengenai banyak dan sedikitnya yang meriwayatkan suatu hadist sebab terkadang ada
matan hadist yang memiliki beberapa huruf dan ada juga matan yang hanya memiliki
satu jalan atau sanad.
·
Kedua: mengenai bersambungnya
sanad, jika ada tabi’in yang mendatakan bahwa ia mendengar suatu matan hadist dari
Rasulullah, tentu ia berdusta karena tidak bersambung langsung, tidak menglami zaman
Rasulullah, bahkan bertemupun tidak pernah.
·
Ketiga: mengenai
rawi yang menjadi sanad dan yang berkenaan dengan rijal hadist, yaitu mengenai kepribadian
sanad: “mengenai akhlaknya dan yang bersangkutan dengan kekuatan otak dan daya ingat
atau hafalannya.
C. AL IJMA’
Ijma’ menurut bahasa yaitu mengandung dua
pengertian, yaitu :
a) Ittifaq
(kesepakatan), seperti dikatakan : “Suatu kaum ialah berijma’ tentang sesuatu”,
maksudnya apabila mereka menyepakatinya.
b) ‘azam
(cita-cita/hasrat) dan tasmin.
Ijma’ menurut syara’ (dalam pandangan
Jumhur) adalah kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin disesuaikan masa
setelah wafat Nabi SAW tentang suatu kaum syara’ yang amali. Oleh karena itu,
menurut Jumhur Ulama ijma’ hanya terwujud apabila dipenuhi
persyaratan/unsur-unsurnya sebagai berikut :
a. Bersepakatnya
para mujtahid. Kesepakatan bukan mujtahid (orang awam) tidak diakui sebagai
ijma’. Demikian juga, kesepakatan ulama yang belum mencapai martabat ijtihad
fiqhy, sekalipun mereka tergolong Ulama besar dalam disiplin ilmu lain, karena
mereka ini tidak mampu mengadakan mazhar dan istidlal tentang
urusan penetapan hukum syara’. Imam Fakhrurazy mengatakan bahwa seorang
pembicara yang tidak mengetahui cara istinbath hukum dari nash, tidak diakui
perintah dan larangannya.
b. Bahwa
semua mujtahid tersebut bersepakat, tak seorang pun yang berpendapat lain.
Kalau satu orang saja yang berpendapat lain, maka ijma’ tidak tersimpul.
Karena
itu tak diakui sebagai ijma’, kesepakatan :
§ Suara
terbanyak
§ Kesepakatan
mujtahid dua tanah haram dari golongan Salaf
§ Kesepakatan
Ulama Salaf kota Madinah
§ Kesepakatan
Ulama Salaf yang mujtahid dari dua kota Bashrah dan kufah, atau salah satunya
§ Kesepakatan
Ahli Bait Nabi
§ Kesepakatan
Khulafaurrasyidin
§ Kesepakatan
dua orang syekh : Abu Bakar dan Umar karena adanya pendapat lain dari mujtahid
lain, membuat kesepakatan mereka itu tidak qath’y (diyakini) keabsahan dan
kebenarannya.
Termasuk
dalam kategori mujtahid, adalah mereka yang ahli dalam “kelompok-kelompok dalam
kalangan umat islam” yang tidak mengingkari masalah yang termasuk kategori
sudah ketahui secara dharury dalam agama.
c. Bahwa
kesepakatan itu, diantara mujtahid yang ada ketika masalah yang diperbincangkan
itu dikemukakan dan dibahas, tidak mesti disepakati pula oleh mujtahid generasi
berkutnya, karena jika demikian maka ijma’ takkan terjadi sampai kiamat.
d. Bahwa
kesepakatan mujtahid itu, terjadi setelah Nabi SAW wafat. Jika dikala Nabi SAW
masih hidup para sahabat bersepakat tentang suatu masalah hukum, maka tidak
merupakan ijma’ syar’i, melainkan merupakan pengakuan Rasul (sunnah
taqriryah).
e. Bahwa
kesepakatan itu harus masing-masing mujtahid memulai penyampaian pendapatnya
dengan jelas pada satu waktu, baik pernyataan pendapat itu secara perorang
tanpa berkumpul bersama.
f. Bahwa
kesepakatan mujtahid itu dalam pendapat yang bulat yang sempurna dalam pleno
lengkap, ataupun masing-masing berkelompok dengan pendapatnya sendiri, maka
mereka pun berijma’ dalam satu pendapat secara hukum karena tak ada pendapat
ketiga.
Apabila unsur ijma’ itu sudah terwujud
didalam suatu kesepakatan mujtahid mengenai sesuatu hukum syara’ amaliyah,
seperti kewajiban, keharaman, sah dan batal, maka ijma’ sudah tersimpul.
Akan tetapi sebagian Ulama berpendapat
lain tentang sebagian unsur ijma’ yang dikemukakan Jumhur tadi, yaitu :
Pertama
: Ijma’ Aktsariyah (sepakat suara
terbanyak)
1)
Jumhur Ulama mengatakan
bahwa ijma’ Aktsariyah ini tidak tersimpul, dengan alasan bahwa
dalil-dalil yang menunjukan ”terpeliharanya umat”itu ialah seluruhnya sepakat.
2)
Abdullah bin Jariral
Thabary, Abu Bakar Al Razy, Abdul Husein Al Khayyath (Mu’tazilah) dan imam
Ahmad dalam satu riwayat berpendapat bahwa ijma’ itu sudah tersimpul apabila
terjadi persetujuan suara terbanyak mutlak, sedang Ulama lain mempertegas bahwa
yang berpendapat lain itu tidak mencapai batas tawatur .
Kedua
: Ijma’ Ahli Madinah
a.
Pendapat Imam Malik
yang menyatakan bahwa ijma’ mujtahid Madinah saja sudah merupakan kesimpulan
ijma’, bahwa pendapat mujtahidnya adalah benar, tidak mungkin salah kareena
kesalahan merupakan kotoran yang tidak terdapat didalam Madinah.
b.
Jumhur Ulama
berpendapat bahwa ijma’ tidak tersimpul dengan kesepakatan mujtahid Madinah,
karena mereka tidak ma’shum dari kesalahan seperti halnya para mujtahid
lain.
Ketiga
: Ijma’ Aahli Bait
1.
Ulama Syiah berpendapat
bahwa ijma’ tersimpul dengan kesepakatan Ahli Bait Nabi. Menunjukan terkikisnya
kotoran dari ahli bait sedangkan keliru dalam pendapat merupakan kotoran juga
yang tidak teradi dari mereka.
2.
Jumhur Ulama
berpendapat tidak terwujudnya ijma’ dengan kesepakatan mereka, karena mereka
tidak mashum dari kesalahan. Menurut gaya bahasanya tertuju kepada
isteri Nabi SAW dan membersihkan mereka dari terjerumus ke jurang kotoran
karena nash.
Keempat
: Ijma’ Sakuty
1.
Ijma’ yang dinyatakan
oleh setiap mujtahid secara shorih disebut ijma’ shorih, karena
masing-masing mujtahid menegaskan dan menyatakan pendapatnya.
2.
Imam Ahmad bin Hanbal,
kebanyakan pengikut Hanafiyah dan sebagian pengikut Imam Syafi’i berpendapat
bahwa tidak mesti kesepakatan para mujtahid itu ditegaskan.
3.
Sebagian Ulama
memperluas pendapatnya bahwa ijma’ sukuty tidak disebut ijma’ karena tak
terwujud kesepakatan didalamnya, tapi tetap dianggap hujjah dan dalil syara’
karena rajih-nya keadaan diam sebagai kesepakatan.
elima
: Ijma’ Murrakkab
a.
Kebanyakan Ulama
berpendapat bahwa ahli ijtihad pada suatu masa apabila terkelompok dalam dua
firqoh/kelompok dalam menanggapi masalah fiqhiyah dimana masing-masing pendapat
kelompok saling berbeda.
b.
Sebagian Ulama
berpendapat bahwa ijma’ murrakkab itu tidak tersimpul karena tidak adanya
kesepakatan mujtahid dalam satu pendapat, terpisahnya mujtahid kedalam dua
kelompok yang pendapat sendirinya berbeda.
c.
Sebagian Ulama memilih
jalan alternatif : Apabila pendapat ketiga itu menolak pendapat yang sudah
disepakati mujtahid dahulu, maka pendapat baru itu menyalahi ijma’ dan
terlarang, seperti dalam masalah kewarisan kakek dan para saudara.
Keenam
: Kemungkinan Ijma’
a)
Sebagian Ulama
Mu’tazilah pengikut Al Nazham dan Syi’ah berpendapat bahwa ijma’ dalam bentuk
yang dirumuskan Jumhur itu, tidak mungkin tersimpulnya menurut adat.
b)
Jumhur Ulama
berpendapat bahwa ijma’ mungkin adanya dan tersimpulnya, dengan dasar
argumentasi bahwa ia telah terjadi dalam praktik.
Ketujuh
: Kehujjahan Ijma’
a.
Jumhur Ulama
berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah yang wajib diamalkan. Zamakhsary mengomentari
bahwa dalam QS. An Nissa’ ayat 115 ini menunjukkan bahwa ijma’ merupakan hujjah
yang tak boleh diperselisihkan sebagaimana tak boleh diperselisihkan Al-Qur’an
dan Sunnah.
b.
Al Nazham, sebagian
Mu’tazilah dan Syi’ah berpendapat bahwa ijma’ bukan hujjah, dengan alasan :
setiap individu mujtahid itu mungkin saja bersalah, maka hal yang sama bisa
juga terjadi di dalam jamaah mereka.
Kedelapan : Sandaran
Ijma’ Kepada Qiyas dan Mashlahat
Para
Ulama berselisih paham tentang kebolehan istinad (sandaran) ijma’ kepada
qiyas atau mashlahat. Pendapat yang benar ialah bahwa ijma’ seluruh mujtahid
tidak mungkin dibina atas landasan qiyas, karena berhujjah dengan qiyas itu
sendiri di perselisihkan Ulama, kecuali apabila pendapat kelompok penolak qiyas
itu tidak diperhitungkan.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ketika kita berbicara tentang
Al-Qur’an dan Hadits (Sunnah), tentunya kita sudah mengetahui bahwa Al-Qur’an
merupakan sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syariat
islam. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an yaitu “sesungguhnya Kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang
khianat (QS An-Nisa). Sedangkan hadits adalah ucapan Rasulullah SAW tentang
suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal yang di
dalamnya mencakup tiga hal yaitu ucapan, perbuatan, dan peersetujuan Rasulullah
SAW.
Jadi, ketika kita membahas tentang Al-Qur’an
sama halnya membahas Fiqih karena di dalam Al-Qur’an hanya menjelaskan secara
globalnya saja. Sedangkan Hadits (Sunnah) sama halnya dengan Ushul Fiqih,
karena di dalam hadits (sunnah) ruang lingkupnya lebih luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar