BAB II
PEMBAHASAN
A. Ismail al Faruqi
1. Riwayat Singkat Ismail al Faruqi [1]
Ismail Raji
al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pada tahun
1926-1936 bersekolah di Colleges des Freres yang terletak di Libanon. Kemudian
pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail lalu
bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih
sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah
ke Amerika Serikat.
Di Amerika, ia
melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana
dan University of Harvard.
Dia melanjutkan
pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana
dan di Al-Azhar University pada tahun 1952. Dia kemudian
mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di
Kanada, Pakistan dan Amerika Seirkat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar
Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Sebagai anak
Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel
yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan
Zionisme dan Yahudi.
|
2. Pemikiran Kalam Ismail al Faruqi
Pemikiran kalam
Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tauhid. Dalam karyanya ini
beliau ini mengungkapkan bahwa syahadat menempati posisi sentral dalam
kehidupan manusia baik dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap
muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia,
ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
Dalam menyoroti
tentang tauhid sebagai prinsip umat, al Faruqi membaginya kedalam tiga
identitas, yakni: pertama, menenentang etnisentrisme yakni tata sosial Islam
adalah universal mencakup seluruh umat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya
untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi
seluruh umat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam umat dunia.
Ketiga
totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia
dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas manusia dan
tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa
dan tempat. Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia,
tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap
bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam
kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
B. Hasan Hanafi
1. Riwayat Singkat Hasan Hanafi
|
Dalam Ikhwanul
Muslimin dia aktif dalam mengikuti demonstrasi hingga adanya revolusi pada
tahun 1952. Dia berperan
dalam demostrasi menentang persetujuan 1954 dengan Inggris Raya yang mengatur
tentang evakuasi tentara Inggris. Di Perancis Hasan Hanafi menemukan permulaan
kesadaran filosofis di tahun terakhir tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an
Perancis menjadi pusat ilmu filsafat kontemporer di dunia. Di Perancis Hasan
Hanafi meraih gelar doktornya.
2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a. Kritik terhadap teologi Tradisional
Dalam
gagasannya tentang rekonstruksi teologi
tradisiobal, Hanafi menegaskan perlunya
mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan sesuai dengan konteks
politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi
tradisonal lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan
untuk memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa
Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka
konseptal lama pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik
menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus
dilakukan. [2]
|
Menurut Hasan
Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang
benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat
manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak
mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia.
Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal
praktiknya dikalangan umat.
Sebagai
konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional
telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran
rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi
sekurang-kurangnya dilatar belakangi oleh tiga hal yaitu :
a) Kebutuhan akan adanya sebuah
ideologi yang jelas di tengaj pertarungan globalisasi ideologi.
b) Pentingnya teologi baru ini bukan
semata pada sisi teoritisnya tetapi juga terletak pada kepentingan praktis
untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah.
c) Keperingan teologi yang bersifat
praktis yang secara nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam.
|
C.
H.M. Rasyidi
1. Riwayat
Hidup H. M Rasyidi
H. Mohamad
Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 - 30 Januari 2001) adalah mantan
Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat,
Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru
pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941)
Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta Karya
Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai
aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan
Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979.
Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang, 1982. Dan apa
yang telah dirintisnya itu kemudian diteruskan dalam skala yang lebih besar dan
penuh harapan oleh Munawir Sjadzali. [3]
2. Pemikiran
Kalam H.M Rasyidi
Pemikiran kalam
beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Tentang Ilmu
kalam, ia membedakannya dengan teologi. Menurutnya teologi berarti ilmu
ketuhanan yang kemudian mengandung beberapa aspek ajaran Kristen yang diluar
kepercayaan sehingga teologi kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu Kalam.
Tentang akal, beliau berpendapat bahwa akal tidak mampu mengatahui baik dan
buruk, hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya aliran eksistensialisme
sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme dalam filsafat barat. Dengan
menganggap akal dapat mengetahui baik dan buruk berarti juga meremehkan
ayat-ayat al Qur’an. Pemikiran H.M Rasydi ini sedikit banyaknya mengarah kepada
pemikiran Al Maturdiyah yang banyak dianut di Indonesia.
|
A. Harun Nasution
1. Riwayat
Hidup Harun Nasution
Harun Nasution
lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tahun 1919. Kemudian bersekolah
di HIS (Hollandsche Indlansche School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun
1937, lulus dari Moderne Islamietische Kweekschool. Ia melanjutkan pendidikan
di Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Dan pada tahun 1952, meraih
gelar sarjana muda di American University of Cairo.Harun Nasution menjadi
pegawai Deplu RI di Brussels dan Kairo pada tahun 1953-1960. Dia meraih gelar
doktor di Universitas McGill di Kanada pada tahun 1968. [4]
Selanjutnya,
pada 1969 menjadi rektor di IAIN Syarif Hidayatullah dan UNJ. Pada tahun 1973,
menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah. Hasan Nasution wafat pada
tanggal 18 September 1998 di Jakarta.Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang
memuji aliran Muktazilah (rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam
kehidupan beragama. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim
Indonesia berpikir secara rasional.
Harun Nasution
juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka. Ketika ramai dibicarakan
tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun Nasution dikenal sebagai
tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan pembentukan wadah musyawarah antar
agama, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga.Beberapa buku yang
pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain :
* Akal dan
Wahyu dalam Islam (1981)
* Filsafat
Agama (1973)
|
2. Pemikiran
Kalam Harun Nasution
Secara garis
besar pemikiran mengarah kepada pemikiran Muktazillah yang menunut kepada
peranan akal dalam kehidupan manusia. Dalam salah satu bukunya ia berpendapat
bahwa akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai
kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya.[5]
Hal ini dasarkan ada kenyataan bahwa Islam memberikan kedudukan yang tinggi
terhadap peranan akal dalam kehiduapn manusia untuk perkembangan ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan keagamaan Islam.
Dalam hal
pembaharuan teologi, ia sependapat dengan pandangan kaum modernis yang
berpendapat bahwa perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati untuk
bangkit dari keterpurukan dan kemunduran ummat Islam di Indonesia. Hal ini
dikarenakan ummat Islam yang lebih cenderung dengan teologi fatalistik, serta
menyerahkan nasib telah membawa nasib mereka menuju kemunduran.
Dalam hal
hubungan akal dan wahyu, sebagaimana pemikiran ulama Muktazillah terdahulu.
Harun Nasution berpendapat bahwa akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al
Qur’an. Oranga yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung
segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dengan demikian kita tidaklah heran kalau Sirajudin Abbas berpendapat bahwa
Kaum Muktazillah banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal bukan
mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.
|
[1] Disadur dari Lamya
Al-Faruqi, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, terj. Masyhur Abadi,
Al-Fikr, Surabaya, 1991, hal, vii-x
[2] E. Kusnadiningrat, Teologi
dan Pembebasan : Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, Logos, Jakarta, 1999,
hlm. 63-64
[4] Deliar Noer,
“Harun Nasution dalam Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia”, dalam Ibid,
hlm. 90.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran –aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1983, hlm. 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar