Kamis, 25 Juli 2013

ILMU KALAM MASA KINI



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ismail al Faruqi
1.      Riwayat Singkat Ismail al Faruqi [1]
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pada tahun 1926-1936 bersekolah di Colleges des Freres yang terletak di Libanon. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard.
Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952. Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Seirkat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi.
2

 
Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme. Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi. Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.
2.      Pemikiran Kalam Ismail al Faruqi
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tauhid. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa syahadat menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia baik dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip umat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang etnisentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh umat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh umat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam umat dunia.
Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas manusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat. Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
B. Hasan Hanafi
1.      Riwayat Singkat Hasan Hanafi
3
 
Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, dimana Inggris menjajah negara Mesir, hal ini membentuk semangat nasionalismenya ketika ia masih kecil. Pada tahun 1948 yang mana negara Israel telah terbentuk dan berdiri serta pecahnya perang Palestina, Hasan Hanafi ikut serta turun dan melakukan perang melawan Zionisme dan menemukan arti penting dalam persatuan bangsa Arab dan Muslim. Hasan Hanafi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas Kairo.
Dalam Ikhwanul Muslimin dia aktif dalam mengikuti demonstrasi hingga adanya revolusi pada tahun 1952. Dia berperan dalam demostrasi menentang persetujuan 1954 dengan Inggris Raya yang mengatur tentang evakuasi tentara Inggris. Di Perancis Hasan Hanafi menemukan permulaan kesadaran filosofis di tahun terakhir tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an Perancis menjadi pusat ilmu filsafat kontemporer di dunia. Di Perancis Hasan Hanafi meraih gelar doktornya.
2.      Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a. Kritik terhadap teologi Tradisional
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisiobal, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan sesuai dengan konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptal lama pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan. [2]
4
 
Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang berupa wahyu.
Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya dikalangan umat.
Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatar belakangi oleh tiga hal yaitu :
a)      Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengaj pertarungan globalisasi ideologi.
b)      Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya tetapi juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah.
c)      Keperingan teologi yang bersifat praktis yang secara nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam.
5
 
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu : Pertama, analisis bahasa, hal ini karena bahasa merupakan warisan nenek moyang yang merupakan tradisikhas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Kedua, analisis sosial, hal ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu.
C. H.M. Rasyidi
1. Riwayat Hidup H. M Rasyidi
H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 - 30 Januari 2001) adalah mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta Karya Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang, 1982. Dan apa yang telah dirintisnya itu kemudian diteruskan dalam skala yang lebih besar dan penuh harapan oleh Munawir Sjadzali. [3]
2. Pemikiran Kalam H.M Rasyidi
Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Tentang Ilmu kalam, ia membedakannya dengan teologi. Menurutnya teologi berarti ilmu ketuhanan yang kemudian mengandung beberapa aspek ajaran Kristen yang diluar kepercayaan sehingga teologi kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu Kalam. Tentang akal, beliau berpendapat bahwa akal tidak mampu mengatahui baik dan buruk, hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya aliran eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme dalam filsafat barat. Dengan menganggap akal dapat mengetahui baik dan buruk berarti juga meremehkan ayat-ayat al Qur’an. Pemikiran H.M Rasydi ini sedikit banyaknya mengarah kepada pemikiran Al Maturdiyah yang banyak dianut di Indonesia.


6
 
 
A.    Harun Nasution
1. Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tahun 1919. Kemudian bersekolah di HIS (Hollandsche Indlansche School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun 1937, lulus dari Moderne Islamietische Kweekschool. Ia melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana muda di American University of Cairo.Harun Nasution menjadi pegawai Deplu RI di Brussels dan Kairo pada tahun 1953-1960. Dia meraih gelar doktor di Universitas McGill di Kanada pada tahun 1968. [4]
Selanjutnya, pada 1969 menjadi rektor di IAIN Syarif Hidayatullah dan UNJ. Pada tahun 1973, menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah. Hasan Nasution wafat pada tanggal 18 September 1998 di Jakarta.Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang memuji aliran Muktazilah (rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam kehidupan beragama. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim Indonesia berpikir secara rasional.
Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka. Ketika ramai dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan pembentukan wadah musyawarah antar agama, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga.Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain :
* Akal dan Wahyu dalam Islam (1981)
* Filsafat Agama (1973)
7
 
* Islam Rasional (1995) dan Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975)
2. Pemikiran Kalam Harun Nasution
Secara garis besar pemikiran mengarah kepada pemikiran Muktazillah yang menunut kepada peranan akal dalam kehidupan manusia. Dalam salah satu bukunya ia berpendapat bahwa akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya.[5] Hal ini dasarkan ada kenyataan bahwa Islam memberikan kedudukan yang tinggi terhadap peranan akal dalam kehiduapn manusia untuk perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan keagamaan Islam.
Dalam hal pembaharuan teologi, ia sependapat dengan pandangan kaum modernis yang berpendapat bahwa perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati untuk bangkit dari keterpurukan dan kemunduran ummat Islam di Indonesia. Hal ini dikarenakan ummat Islam yang lebih cenderung dengan teologi fatalistik, serta menyerahkan nasib telah membawa nasib mereka menuju kemunduran.
Dalam hal hubungan akal dan wahyu, sebagaimana pemikiran ulama Muktazillah terdahulu. Harun Nasution berpendapat bahwa akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al Qur’an. Oranga yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan. Dengan demikian kita tidaklah heran kalau Sirajudin Abbas berpendapat bahwa Kaum Muktazillah banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.
8
 
Dari keempat pemikiran sebagaimana disebutkan diatas setidaknya dapat kita pahami bahwa masing masing tokoh memang tidak dapat terlepaskan dari pemikiran kalam dimasa lalu. HM. Rasyidi misalnya pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Ahlusunnah wal Jamaah atau al Maturidiytah yang dibangun oleh al Imam Asy’ari dan al Maturdi. Demikian juga dengan Harun Nasution dan Hasan Hanafi yang pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Muktazilah dan Qadariyah yang lebih menekankan peranan akal dalam menghadapi realita takdir atau nasib dalam kehidupan di dunia ini.


[1]  Disadur dari Lamya Al-Faruqi, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, terj. Masyhur Abadi, Al-Fikr, Surabaya, 1991, hal, vii-x

[2]  E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan : Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, Logos, Jakarta, 1999, hlm. 63-64
[3]  Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Paramadina, Jakarta, 1997, hlm. 61.
[4]  Deliar Noer, “Harun Nasution dalam Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia”, dalam Ibid, hlm. 90.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran –aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1983, hlm. 56.

BUDAYA YANG MENDORONG KEMAJUAN DAN YANG MENYEBABKAN KEMISKINAN



BAB II
PEMBAHASAN

  1. Budaya sebagai Sarana Kemajuan dan sebagai Ancaman bagi Manusia
Dalam berbudaya manusia tidak menerima begitu saja apa yang disediakan oleh alam, tetapi ia harus mengubahnya dan mengembangkannya lebih lanjut. Dengan demikian, akan terjadi jurang antara manusia dan dirinya. Itulah yang dimaksud dengan keterlepasan atau keterasingan yang menyebabkan terjadinya ketegangan yang terus-menerus.
Sehubungan dengan itu, Klages (1930) menulis, budaya merupakan bahaya bagi manusia sendiri. Peradaban, pabrik berasap, udara yang penuh dengan bunyi, kota yang kotor, hutan yang semakin gundul, kediktatoran akal, dan budi yang tamak merupakan akibat dari budaya menurut Klages. Budaya itu menguasai, menyalahgunakan, menjajah, dan mematikan. Kekuasaan budaya dapat dilihat dimana-mana.
Apa yang dikatakan oleh Klages dan beberapa filosofi lain memang ada benarnya juga. Dalam budaya kadang termuat kuasa-kuasa yang mengancam dan mampu menjerat manusia ke dalam jurang kerusakan. Dalam brosurnya yang lain, Die Zukunft einer Illussion (masa depan suatu ilusi) ia menerangkan bahwa sumber budaya terdiri atas nafsu birahi (eros) dan kedaruratan atau situasi yang mendesak. Yang pertama mendorongnya untuk bermasyarakat dan yang kedua mendorongnya untuk bekerja.
Sambil hidup didalam budaya, manusia pun mengambil jarak dari budaya tersebut. Dengan demikian, seorang Calvinis yang mengenal dan menjalani askese, tidak menarik diri dari alam dunia. Calvin sendiri masih mengakui bahwa seni itu penting bagi kehidupan manusia, tetapi penanganannya harus dilakukan dengan cara sederhana saja.
Budaya harus kita dekati, tetapi jika kita gegabah memandangnya, hal itu akan mengancam kelestarian kita sendiri. Budaya di samping membawa kemuliaan, budaya juga dapat membawa musibah bagi kita sendiri. Budaya manusia dapat menaklukan alam, tetapi budaya juga dapat merusak alam. Alam dan budaya merupakan dua kutub yang saling memerlukan dan memberi ruang kehidupan bagi manusia.
Contohnya, perkakas yang semula merupakan perpanjangan tangan manusia, kemudian menyebabkan manusia malah cenderung menjadi perpanjangan perkakasnya, sehingga budaya itu mengancam manusia. Untuk berkembangnya ruang hidup yang manusiawi, tidak dapat ditempuh jalan yang mengagungkan budayawi saja ataupun yang alami saja.
Kedua-duanya harus ditempuh bersama, yakni alam dan budaya dimana budaya itu sendiri tidak boleh ditumbuhkan dengan teknik, tetapi harus dihayati dalam cakupan ilmu, etika dan seni. Sehubungan dengan itu, filosofi Perancis Albert Schweizer pernah mengatakan bahwa mengembangkan budaya tanpa etika pasti membawa kehancuran. Oleh karena itu, dianjurkannya agar kita memperjuangkan mati-matian unsur etika didalam mendasari budaya.
  1. Produktivitas
Semakin banyak tenaga kerja yang dipergunakan, maka semakin meningkat pula produksinya. Hanya saja apabila penggunaan tenaga kerja telah mencapai puncaknya, dalam arti penambahan tenaga kerja sudah tidak efektif lagi, (walaupun ada tambahan produksi), diperlukan penambahan modal.
Jadi, ada keterkaitan antara modal dan tenaga kerja sebagai faktor-faktor produksinya. Pemanfaatan tenaga kerja disini bukan sekedar dilihat dari segi kuantitasnya, tetapi harus dilihat dari segi kualitasnya. Apabila tidak dipergunakan sesuai dengan kepasitasnya, modal akan mengurangi keuntungan karena modal mengalami penyusutan.

Banyak sekali sumber daya manusia yang tidak produktif hanya karena mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Untuk itu, pendidikan dan latihan yang berorientasi pada perwujudannya manusia mandiri sangat diperlukan.
  1. Kemiskinan
Kemiskinan sering di identifikasikan dengan kekurangan, terutama kekurangan bahan pokok, seperti pangan, kesehatan, sandang, papan, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi kemiskinan, paling tidak harus dilihat dari konteks masalahnya. Kemiskinan timbul dari berbagai faktor yang setiap faktornya memerlukan penanganan khusus.
    1. Terbatasnya Sumber Daya Alam
Sumber daya alam bukanlah pilihan atau buatan manusia, tetapi sudah tersedia dibumi dan manusia dapat mengambil manfaat darinya. Tanah yang subur atau kaya bahan tambangnya, misalnya bukan dibuat atas kehendak manusia.
Sunber daya alam ini, ada yang dapat diperbaharui seperti kekayaan hutan yang berupa flora dan faunanya, dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak bumi, emas, nikel, baja, dan lain sebagainya.
Sehingga untuk kelestarian sumber daya alam ini perlu adanya konservasi dan aturan untuk mengelola sumber daya alam ini. Agar penerus atau anak cucu kita masih bisa menikmati manfaat dari sumber daya alam tersebut.
    1. Terbatasnya Sumber Daya Manusia
Di daerah atau negara yang sumber daya manusianya sedikit walaupun kaya akan sumber daya alamnya, ia tetap tidak akan menikmati sumber daya alam itu. Karena tidak banyak manusia yang mampu atau bisa mengelolanya dengan baik.
Untuk mengelola sumber daya alam itu, diperlukan tenaga manusia, maka dengan transmigrasi sumber daya alam itu akan dapat dikelola dengan baik dan dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat disekitarnya.
Dengan demikian, manusia atau masyarakatnya akan mempunyai kehidupan yang layak, makmur dan sejahtera dalam kehidupan sehari-harinya.
    1. Terbatasnya Barang Modal
Barang modal sebagai faktor produksi yang harus ada disamping sumber daya alam dan sumber daya manusia. Hilangnya salah satu dari ketiga komponen itu menyebabkan tidak berjalannya produksi. Karena modal barang merupakan alat untuk mengelola kekayaan yang dimiliki sumber daya alam dan sumber daya manusianya.
Jika suatu negara mempunyai sumber daya alam yang melimpah dan cukup banyak sumber daya manusianya, tetapi tidak memiliki barang modal, maka kekayaan itu belum bisa diambil manfaatnya. Sehingga manusianya akan mengalami kekurangan barang modal.
    1. Rendahnya Produktivitas
Bagi negara yang produktivitas sumber daya manusia dan barang modalnya sangat rendah, tentu sulit untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya, sehingga ia selalu berada dalam kekurangan atau dalam kemiskinan.
Agar sumber daya alam itu tidak musnah atau hilang seperti bahan tambang yang tidak diperbaharui, penggunaannya diatur pada batas-batas tertentu agar tidak habis dalam waktu yang relatif singkat.


Binatang atau tumbuh-tumbuhan yang sudah mulai langka diupayakan untuk dikonservasikan di cagar alam atau suaka alam. Upaya ini di maksudkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan memelihara kelestarian spesies dan gen yang pada masa mendatang sangat diperlukan.
    1. Rendahnya Pendidikan
Seringkali kesejahteraan suatu bangsa diukur dengan tingkat pendidikan masyarakatnya. Di negara maju tingkat pendidikan rakyatnya cukup tinggi, sebaliknya di negara miskin tingkat pendidikan rakyatnya sangatlah rendah.
Semua itu akibat dari sumber daya manusianya tidak mempunyai keahlian atau keterampilan yang cukup berperan dalam pembangunan bangsanya. Usaha untuk meningkatkan keterampilan dan kecakapan rakyatnya terbentur dengan belum tersedianya sarana, prasarana dan biaya atau dana yang di butuhkan untuk membiayai pendidikan tersebut.